KEB

KEB

BPN

BPN

About Me

About Me
Diah is here! Mom of three boys.

Hukum Tidak Menagih Utang Dalam Islam

6 komentar

Hukum  tidak menagih utang dalam Islam. Dalam sebuah dialog di grup kajian agama Islam yang saya ikuti, ada sebuah tanya-jawab yang menarik, yakni perihal utang dan penagihannya.

Utang adalah sesuatu yang dibolehkan dalam agama dengan syarat tidak mengandung riba. Berbeda dengan jual-beli, acapkali persoalan utang-piutang ini menimbulkan masalah dalam kehidupan sosial. Ada kalanya gara-gara utang, hubungan pertemanan bahkan kekerabatan menjadi renggang. Naudzubillah.

Ada meme yang beredar di media sosial yang menyatakan bahwa orang yang berutang seringkali lebih galak dari yang mengutangi. Hal ini juga yang menjadi alasan sebagian orang enggan menagih utang atau bahkan mengikhlaskannya. Sampai-sampai ada orang yang mencari doa menagih hutang menurut Islam segala. Sebegitu besarnya, ya resiko memberi utang hingga kita juga bertanya cara menagih hutang yang susah bayar, cara menagih hutang ke saudara, bahkan kita bertanya-tanya hukum menagih hutang di depan umum. 

Punya utang adalah sesuatu yang niscaya terjadi, oleh karena itu seyogianya kita belajar cara berhutang dan cara menagih hutang agar tidak mengalami kesulitan di dunia dan akhirat. 

Bagaimana Sebenarnya Hukum Tidak Menagih Utang atau Enggan Menagih Utang dalam Islam?

Berikut ini tanya-jawabnya.

Ummi, izin bertanya.

Ada seseorang (si A) meminjam uang kepada tetangganya. Ia berjanji akan mengembalikan di bulan berikutnya. Ternyata tidak ditepati.

Si pemberi utang (si B) belum menagih karena husnuzhon kpd si A.

Tak berapa lama, terdengar kabar bahwa si A ternyata juga berutang kepada banyak orang dan belum dilunasi, sehingga tercemarlah namanya.

Akhirnya salah satu kerabat si A menanggung dan membayarkan utang-utang si A dan meminta agar orang yang merasa meminjamkan uang kepada si A untuk menagih kepada dirinya.

Si B tidak jadi menagih si A krn khawatir nama si A bertambah buruk.

Pertanyaan:
Apakah sikap si B dibenarkan?

Bolehkah si B menganggap lunas utang si A tanpa sepengetahuan si A?

Utang-dalam-Islam


Berikut ini jawaban dari pengasuh kajian tersebut.

Bismillah
Pertanyaan : "Apakah sikap si B dibenarkan?"

Jawaban:
Sikap si B tidak dibenarkan, bahkan dia wajib menagihnyaMenagih utang dengan baik akan mendapatkan rahmat Allah.

"Allah merahmati orang yang mudah ketika menjual, membeli, dan meminta haknya" (HR. Bukhari 2076 dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma)

Biasa Utang, Biasa Dusta

"Sesungguhnya, apabila seseorang terlilit utang, maka bila berbicara ia akan dusta dan bila berjanji ia akan pungkiri."(HR. Bukhari 832, Muslim 589)

Pertanyaan selanjutnya: "Bolehkah si B menganggap lunas utang si A tanpa sepengetahuan si A?"

Jawaban:
Silakan, karena si B mempunyai hak, dan ada sedekah di balik utang. Namun apabila si B memberitahu si A bahwa utang telah dianggap lunas, maka itu juga baik, karena meringankan beban orang lainMemberikan keringanan dan kemudahan berakibat mudahnya masuk surga.

"Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah utang), maka Allah memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat." (HR. Muslim 2699)

"Dan jika (orang berutang) itu dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (al-Baqarah 280)

Ayat di atas adalah sebuah petunjuk dari Allah untuk orang yang memberikan pinjaman bahwa andai saja mereka mengetahui, balasan sedekah itu sangat luar biasa.

Sebagai pengingat,  orang mati jika diberikan kesempatan untuk hidup lagi, mereka memilih sedekah daripada ibadah lain. Kenapa? Ini karena sedekah bisa menjauhkan dari azab api neraka.

Kesimpulan dari permasalahan utang-piutang ini adalah, apabila terasa berat untuk mengikhlaskan utang tersebut, masih ada pilihan lain jika seseorang juga mengharapkan pahala sedekah, yaitu berilah tenggang jatuh tempo.

Jatuh tempo adalah batas sedekah.
Hadist ini khusus untuk orang-orang yang meminjamkan harta mereka, semakin lama semakin banyak nominal sedekahnya.

"Barangsiapa memberi tempo waktu kepada orang yang berutang yang mengalami kesulitan membayar utang, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah pada setiap hari sebelum tiba waktu pembayaran. Jika waktu pembayaran telah tiba kemudian ia memberi tempo lagi setelah itu kepadanya, maka ia mendapat sedekah pada setiap hari semisalnya." (Shahih HR. Ahmad (V/351, 360), Ibnu Majah 2418, dan al-Hakim (II/29) dan ini lafazhnya dari Buraidah Radhiyallahu anhu)

Jatuh-tempo-utang-dalam-Islam


Tidak jadi menagih karena khawatir nama si A tambah buruk?

Nama buruk di dunia lebih ringan daripada siksa di akhirat.

Punya Utang Termasuk dalam Tiga Perkara yang Menghalangi Seseorang Masuk Surga

"Apabila ruh telah berpisah dari jasad (meninggal dunia), sedang ia terbebas dari tiga perkara : kesombongan, ghulul (korupsi), dan utang, niscaya ia masuk surga." (Shahih, HR. at-Tirmidzi 1573, Ibnu Majah 2412, Ahmad (V/276, 281, 282), al-Hakim (II/26), al-Baihaqi (V/355; IX/101-102), dan selainnya. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 2785)

Utang Adalah Suatu Hal dari Dunia yang Dibawa ke Akhirat

"Barangsiapa meninggal dunia sedangkan ia masih memiliki tanggungan utang, sedang di sana tidak ada dinar dan tidak juga dirham, akan tetapi yang ada hanya kebaikan dan kejelekan." (HR. Ahmad (II/70-72), al-Hakim (II/27) dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma)

Hadist tersebut memberikan petunjuk bahwa seorang muslim yang masih punya utang di dunia, akan melunasi utangnya dengan cara memberikan pahalanya kepada si empunya harta. Apabila ia tidak punya pahala, maka si empunya harta mendapatkan pelunasan utang justru dengan cara memberikan dosa yang dimilikinya kepada si peminjam sesuai besarnya utang.

Al-Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat Ahkamul Janaiz (hlm. 13) karya Syaikh al-Albani rahimahullah.

Orang Berutang Tak Akan Masuk Surga Sebelum Melunasinya

"Bagaimana menurutmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, asalkan engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan engkau sabar dan mengharapkan pahala, maju ke medan perang dan tidak melarikan diri, kecuali utang, karena itulah yang disampaikan Malaikat Jibril kepadaku tadi." (HR. Muslim 1885, Ahmad (V/297, 308), Malik dalam al-Muwaththa' (II/no. 31), at-Tirmidzi 1712, an-Nasa-i (VI/34), ad-Darimi (II/207), dan al-Baihaqi (IX/25))

Apapun yang Diutang, Akan Membakar Ruh Si Peminjam

"Dari Jabir Radhiyallahu anhu ia berkata, “Seorang laki-laki meninggal dunia dan kami pun memandikan jenazahnya, lalu kami mengkafaninya dan memberinya wangi-wangian. Kemudian kami datang membawa mayit itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami berkata, ‘Shalatkanlah jenazah ini.’ Beliau melangkahkan kakinya, lalu bertanya, ‘Apakah dia mempunyai tanggungan utang?’ kami menjawab, ‘Dua dinar.’ Lalu beliau pergi meninggalkan kami (tidak mau menshalatkan). Abu Qatadah kemudian menanggung utangnya, kemudian kami datang kepada beliau lagi, kemudian Abu Qatadah berkata, ‘Dua dinarnya saya tanggung.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kamu betul akan menanggungnya sehingga mayit itu terlepas darinya? Dia menjawab, ‘Ya.’ Maka Rasulullah pun menshalatinya. Kemudian setelah hari itu Rasululluh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apakah yang telah dilakukan oleh dua dinar tersebut?’ Maka Abu Qatadah berkata, “Sesungguhnya ia baru meninggal kemarin.’” Jabir berkata, ‘Maka Rasulullah mengulangi pertanyaan itu keesokan harinya. Maka Abu Qatadah berkata, ‘Aku telah melunasinya wahai Rasulullah!’ maka Rasulullah bersabda, ‘Sekarang barulah dingin kulitnya!’"(Shahih, HR. Ahmad (III/330), Abu Dawud 3343, an-Nasa-i (IV/65-66), dan Ibnu Hibban 3053 at-Ta’liqatul Hisan, Lihat Bulughul Maram 877 dan 878 tahqiq Samir az-Zuhairi).

Demikian pembahasan Islam mengenai utang. Beratnya resiko berutang, hendaknya membuat  setiap muslim berhati-hati dalam berutang. Adapun jika terpaksa berutang, mikilah niat dan usaha untuk membayarnya.

Jika ada di antara kita yang diutangi alias meminjamkan uang kepada orang lain, hendaklah memberi kemudahan dalam pelunasannya. Semoga artikel tentang hukum tidak menagih utang dalam Islam ini bermanfaat.

Related Posts

6 komentar

  1. Alhamdulillah saat ini saya insya Allah dalam posisi bebas hutang. Dan untuk menjaga kewarasan saya saat ini saya mempunyai pedoman pinjamkan seikhlasnya kita. Sehingga jika tidak kembali, anggap sebagai sedekah. ( berlaku untuk orang lain bukan saudara apalagi ortu)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Berarti mbak termasuk orang yg paling berbahagia nih. Semoga kita bisa ikhlas dan amanah ya. Aaamiiin.

      Hapus
  2. Ini nih perihal hutang yang wajib diketahui kadang kita mengikhlaskan karena kasihan kepada orang tersebut, tetapi itu sudah keharusan buat penghutang jadi bingung :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mbak. Kewajiban nagih itu ternyata sulit banget padahal bukan sebuah keburukan ya.

      Hapus
  3. Seperti ne urusan tagih menagih ki memang marai males mba. Klo aku klo ditembungi utang teman (klo dia mendesak dan butuh) aku mending ngasih tapi sewajarnya (tidak sesuai nominal le nembung)...urusan utang piutang biar ke bank wae.. males nek kudu nagih kui😀

    Kecuali, teman atau sodara sik wis ngerti track record e bnr, tanggung jawab...baru.. tapi klo nominal besar nggak berani juga...males ambil resiko

    BalasHapus
    Balasan
    1. Termasuk antisipasi ya, minjamin cuma ke orang yg bener-bener kita percaya.

      Hapus

Posting Komentar