Sepulang dari kampung halaman di Jogja ada kegelisahan melanda. Kenangan terkini di pergantian tahun 2015-2016 ini menyisakan pertanyaan. Ke mana Jogjaku?
Di mana-mana keramaian ada. Mall baru, hotel di lahan besar dan kecil, pusat jajanan, minimarket. Sejak masuk wilayah DIY di Prambanan, kesesakan mulai terasa. Ini Jogja? Bahkan saya sampai tak bisa memetakan lagi beberapa titik yang kini berkembang menjadi keramaian. "Dulu ini apa, ya?"
Termangu sepanjang jalan menuju rumah orang tua. Tak perlu sampai kota Jogja, Jogja coret saja sudah begitu. Jalan raya penuh, padat, sesak. Ada jalur yang ditutup dan dijadikan satu arah karena saking banyaknya kendaraan melintas. Oh, inikah Jogja
yang setiap meter perseginya berubah menjadi tambang rupiah? Inikah resikonya menjadi kota besar?
Di mana-mana keramaian ada. Mall baru, hotel di lahan besar dan kecil, pusat jajanan, minimarket. Sejak masuk wilayah DIY di Prambanan, kesesakan mulai terasa. Ini Jogja? Bahkan saya sampai tak bisa memetakan lagi beberapa titik yang kini berkembang menjadi keramaian. "Dulu ini apa, ya?"
Termangu sepanjang jalan menuju rumah orang tua. Tak perlu sampai kota Jogja, Jogja coret saja sudah begitu. Jalan raya penuh, padat, sesak. Ada jalur yang ditutup dan dijadikan satu arah karena saking banyaknya kendaraan melintas. Oh, inikah Jogja
yang setiap meter perseginya berubah menjadi tambang rupiah? Inikah resikonya menjadi kota besar?
Sampai di rumah orang tua, Ibu saya bercerita tentang kuda-kuda yang terpeleset di wilayah nol kilometer Jogja. Malangnya para kuda itu. Mereka terpeleset di tempat yang diagung-agungkan sebagai pusat budaya. Inikah Jogja?
Gambar dari http: //jogjapos.com/belasan-kuda-terpeleset-di-titik-nol-jogja-ini-dugaan-penyebabnya/
Rasa terasing di kampung halaman makin menjadi manakala saya pergi ke minimarket terdekat yang dulu belum ada di situ. Terhisap saya oleh situasi. Saya asing di sini, di kerumunan orang yang tak lagi saling sapa. Orang-orang berpakaian seenaknya. Parkir sembarangan. Ini di mana? Di dekat rumah saya dulu?
Namun di antara hal yang paling menyedihkan adalah saat saya ke pasar. Pasar tradisional terdekat yang jualannya masih di sepanjang pinggir jalan raya.
"Beli apa, Mbak?" sapa si penjual.
Oh, Bu Penjual, kenapa menyapa saya seperti itu? Sapa saja saya seperti biasanya dulu,
"Tumbas napa, Mbak?"
Sedihnya hati ini. Bahkan penjual di pasar yang sudah berjualan di situ sejak saya masih gadis saja sudah lupa berbahasa Jawa.
Kesedihan ini saya bawa sepanjang jalan pulang. Jogja, lupakah kau pada keanggunanmu? Barangkali sepuluh tahun lagi engkau sudah tidak kukenali. Dan mungkin kau pun tak mengenaliku lagi. Jogja,...ayo bangun. Mimpi apa kau? Pembangunan yang meninggalkan kemanusiaan adalah pembangunan semu. Kau bisa menarik banyak orang, tapi kau tak bisa memiliki hati mereka. Kau boleh saja jatuh cinta kepada yang baru, tapi jangan kau lupakan cinta yang lama.
Ia mbak jogja sekarang banyak berubah dari penataan kotanya, gaya bicara, dll. Saya sendiri yg bukan asli jogja tapi tinggal disini juga prihatin
BalasHapusSaya sungguh prihatin. Budaya Jawa menghilang perlahan. Yang saya maksud bukanlah baju Jawa, lagu Jawa saja tapi rasa malu, rikuh positif yang tergerus. Padahal tanpa rikuh dan malu tak asa unggah-ungguh. Tanpa unggah-ungguh apa bedanya manusia dengan nonmanusia?
HapusIronis memang, Sejak budaya asing masuk adat istiadat mulai tergerus perkembangan jaman
BalasHapusSebetulnya asing juga tidak selalu buruk mas sepanjang mendukung keluhurab budaya lokal. Sedihnya yang terjadi sebaliknya.
Hapussekitar 11 tahun lalu aku mulai tinggal dijogja untuk sekolah mba diah dan budayanya masih cukup kental bagiku waktu itu, tapi memang ketika kemarin aku balik lagi ke jogja untuk liburan, baru aku tinggal satu tahunan kok mall dan hotel sudah bertebaran dimana2 dan banyak bgt yg ngomongnya jadi lo gue, walopun dl banyak tp tidak sebanyak sekarang...aku jadi mikir ini jakarta apa jogja ya hehehe...
BalasHapusNah, mbak handriati juga sama kan ya. Sedihnya saya pernah pas belum lama keluar dari Jogja pernah satu kali lihat ada orang bercelana pendek saudaranya hot-pants ngantri di bank. Pas saya cerita ke teman yang masih di Jogja dia bilang itu hak si pemakai celana pendek. Waaaw...langsung sedih saya. Seaus itukah rasa rikuh orang jogja?
HapusSmua brubah ya? Pdhal saya pengen ke jogja lg
BalasHapusKalau untuk sarana prasarana wisata saya kira masih asyik mbak. Cuma ya kalau cari yang tenang mungkin agak susah apalagi sekarang selfie jadi kegiatan favorit.
HapusNggak cuma Jogja kayaknya...semuaanya berubah, termasuk kampung halaman saya...tetangganya Jogja (Purworejo)
BalasHapusPurworejo siaga ya mbak. Sebentar lagi kalau bandara sudah dipindah ke Kulonprogo bakal makin rame Purworejo. Btw, eyang uti dari garis ibu saya dari Purworejo juga. Duluuu tiap mau Ramadhan nyekar ke makam eyang di Keduren (apa Geduren?)
HapusYang terasa bnget bedanya wilayah2 dekat kmpus mbak menurutku. Mereka mengalami perkembangan2 fisik yang sangat cepat.. ( daerah jakal,sagan, seturan, janti)..mall, apartemen, mall, cafe2... Uakeh bgt. Setiap kali lewat aku juga sering gitu.."ini dulu bekas fotocopian...dulu warung...sekarang dah tergusur..ganti bngunan yang lbh tinggi dan mentereng". Gaya pakaian, iya. Semakin seenaknya..dan klo sudah begitu comentku adalah.."itu klo diperkosa atau dilecehkan, bukan salah laki-laki"
BalasHapusNjuk sing nduwe biyen ki nang ndi saiki? Gitu ya lis. Dijual terus beli tanah di pinggiran. Lama-lama jafi kayak oranf betawi. Famili bapakku ada yang masih punya rumah di kotabaru belum dijual. Maunya sekian M gitu. Salut juga mau bertahan begitu.
HapusHeemmm, Jogja udah berubah ya? Prihatin juga kalo sudh mulai luntur budaya Jawanya.
BalasHapusPadahal kangen banget sama Jogja. Minggu ini ada acara ke Jogja. Pengen napak tilas perjuangan jaman kuliah dlu. Harus siap2 kena macet nih.
Selamat bernostalgia ya mbak. Semoga gang guru tidak manglingi banget-banget. Kalo gejayan ya...gitu deh.
Hapusbegitulah...suatu tempat bakalan berubah..mengikuti arus zaman, bukan hanya Jogya,,,bahkan semua daerah yang ada di Indonesia,....smoga saja perubahan yang terjadi menuju kebaikan untuk bangsa dan negara..
BalasHapuskeep happy blogging always..salam dari makassar-banjarbaru :-)
Sudah sunnatullah ya pak. Tapi ada hal-hal yang seharusnya tidak berubah.
Hapusseiring dengan kemajuan zaman dan teknologi ya pastinya berubah, apalagi yogya jadi kawasan wisata. Mudah-mudahan sih bisa tetep mempertahankan bahasa dan santun budaya.
BalasHapusJika wisata budaya yang dijadikan primadona, akan lucu jadinya kalau budayanya sendiri tergerus. Bukan cuma soal bangunan dan pakaiannya, tapi juga unggah-ungguhnya.
Hapuskenapa dengan jogja nya mbak,?
BalasHapusaduh kasian tu gudanya trapeleset
Iya itu mas. Kasihan banget kudanya. Dipersempit ruang geraknya.
Hapusjogja tetap akan terus berubah dan berubah entah kita mau apa tidak... T.T
BalasHapusNah, siapa yang mengubah itu mas. Apa lupa kalo nantinya akan tiba masa tua dan menemukan jogja yang tidak lagi mengakomodasi kepentingannya.
Hapusbahkan aku belum pernah sama sekali berkunjung di jogja mbak.. tapi kalau melihat kondisinya seperti itu? terutama dengan bahasa logat jogjanya yang mulai memudar??
BalasHapusMonggo ke Jogja mbak. Terus diposting kesan-kesannya. :-)
Hapusmasuk tahun ke 7 di jogja, saya jalan ke Mall bisa dihitung jari, ga pernah ke bioskop dan tempat favorit saya mencari inspirasi adalah di Pantai (Kwaru, Goa Cemoro dan sekitarnya) yang rindang di Bantul. Menikmati alam sambil menulis ^^
BalasHapusNjenengan Jogjane pundi mbak?
salam adibriza.com
Tempat-tempat yang disebutkan mas tadi saya belum pernah ke sana. Wilayah jelajah saya ya cuma kota jogja, sedikit bantul kota.
HapusKula jogjanipun mbanguntapan mbantul mas.
Di sini juga banyak yang gitu. Gak cuma Yogya. -,-
BalasHapusNah itu mbak. Dengan begitu makin terlihat siapa yang lebih 'disayangi' pedagang.
BalasHapus