Ibu adalah orang yang hampir selalu mendukung cita-cita saya. Ibu juga yang senantiasa menegakkan langkah saya di saat saya merasa tak mampu. "Kau bisa jadi seperti dia," kata Ibu saat saya masih kecil sambil menunjuk kepada Inke Maris di layar berita TV.
"Menguasai bahasa asing dan pergi berkeliling dunia." begitu kata Ibu.
Gambar dari inkemaris.com
Secara tak kasat mata, kalimat manis Ibu pun terpatri di dalam hati saya dan menjadi salah satu landasan cita-cita saya selanjutnya. Ketika saya belajar bahasa asing, saya ingat 'doa' Ibu itu, meski kemudian sampai detik ini saya belum terlihat seperti prototipe Inke Maris sedikitpun. Maafkan daku, Ibu. Semoga doamu diijabah oleh Alloh. Semoga walau sekedar nilai nyaris sempurna di hasil Ebtanas untuk Bahasa Inggris, saya tetap bisa membuat Ibu bangga dan merasa bahwa doa Ibu tak sia-sia. Jika bukan putrimu ini yang mewujudkan impian Ibu, semoga cucu-cucu Ibu yang kelak mampu membuat Ibu tersenyum bangga.
Ibu pula yang begitu telaten membimbing saya belajar di hari-hari ujian kelulusan. Di sepertiga malam terakhir Ibu biasa membangunkan saya dengan tangan hangatnya dan bisikan syahadatnya. Bukan hanya sekali, saat saya masih enggan bangun, Ibu menggendong saya hingga ke kamar mandi agar saya bangun karena menyentuh air.
Ibu juga yang rela pontang-panting ke sana ke mari saat proses pendaftaran sekolah. Ada satu kenangan yang selalu saya ingat: wajah bingung Ibu ketika saya menangis sesaat setelah memasukkan berkas pendaftaran di SMA yang kemudian menjadi tempat saya bersekolah. SMA saya termasuk SMA favorit, tapi saya tak ingin bersekolah di situ. Saya ingin masuk ke SMA terbaik, sayang nilai saya tak cukup meski hanya berselisih sedikit. Jadilah saya menangis kecewa.
Saya nyaris saja menggugurkan rasa bahagia Ibu melihat anaknya diterima di salah satu SMA favorit. Saya nyaris saja patah hati dan menarik berkas pendaftaran saya untuk 'terjun bebas' ke SMA swasta. Bukan SMA swasta itu buruk, tapi memiliki nilai cukup untuk menapak di salah satu sekolah terbaik bukanlah hal yang mudah. Itu yang tak saya sadari. Egoisme anak baru gede itu hampir saja menggulung rasa bangga orang tua. Maafkan daku, Bu.
Bahkan setelah saya menjalani hari-hari di SMA, saya pun masih saja 'menghadiahi' Ibu masalah. Saya berada di zona tak aman sepanjang kelas satu: bottom two. Ya, saya beri Ibu dan Bapak saya ranking kedua dari bawah plus nilai merah di rapor untuk mata pelajaran Kimia. Tapi, Ibu senantiasa memberi saya kesempatan kedua.
Saya nyaris 'bunuh diri' lagi dengan memutuskan tidak memilih jurusan apapun. Dengan sabar Ibu membimbing saya agar bisa naik ke kelas Biologi (A2). Ibu ingin saya bangkit dengan belajar lebih baik lagi.
Begitu banyak kenangan 'nakal' saya bersama Ibu. Namun begitu banyak pula cara Ibu menundukkan hati saya. Kenapa Ibu bisa mengerti hati saya? Ah, bagaimana saya bisa lupa, saya ini pernah hidup di dalam diri Ibu. Sejak saya belum mengenal diri saya, Ibu sudah kenal saya. Sejak saya belum mengingat apapun tentang saya, Ibu sudah menyimpan memori itu.
Ibu memang sosok istimewa. Di luar segala kekurangannya sebagai manusia, Ibu tetaplah sosok mulia yang pantas mendapatkan penghormatan di dunia hingga akhirat. Kini saya juga menjadi seorang ibu dari dua anak saya. Jika anak-anak saya 'bertingkah', secara otomatis saya ingat kenakalan saya sendiri, ingat ibu saya.
Ibu memang sosok istimewa. Di luar segala kekurangannya sebagai manusia, Ibu tetaplah sosok mulia yang pantas mendapatkan penghormatan di dunia hingga akhirat. Kini saya juga menjadi seorang ibu dari dua anak saya. Jika anak-anak saya 'bertingkah', secara otomatis saya ingat kenakalan saya sendiri, ingat ibu saya.
Membesarkan anak-anak adalah sebuah pekerjaan yang berat dan hasilnya baru dapat dinikmati berpuluh tahun kemudian. Semoga saya diberi-Nya keluasan hati dalam mengemban amanah ini, sebagaimana ibu saya dan ibu-ibu hebat lain di seluruh dunia.
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Hati Ibu Seluas Samudera
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Hati Ibu Seluas Samudera
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
BalasHapusSegera didaftar
Salam hangat dari Surabaya
matur nuwun Pakde.
BalasHapusibu memang malaikat yaaahhh
BalasHapusTeringat mama di rumah, meskipun saya sudah menikah, beliau tetap saja begitu, tidak pernah berubah, selalu cerewet perihal makan :")
BalasHapusduuuh..hiya ya saya juga nakal bgt..waktu SMP kepengen tas kain yg lagi ngetren sampe ngunci di kamar :( akhirnya terpaksa dibeliin
BalasHapusmbak Icha: kl diibaratkn malaikat brgkali ibu spt malaikat rahmat. yg jelas bukan spt malaikat malik atau izroil ya. hehe
BalasHapusGulunganpita: kl sudah terpisah jauh baru terasa ingin dekat ya mbak. sy aja kl hujan deras gt tiba2 ingin pulang ke ibu saya. aneh ya.
mak Kania: sempat nakal jg to mak. gak percaya hehe
Ibu....sosok malaikat yg berwujud manusia.
BalasHapusSukses utk GAnya ya :)
Benar kata Pakdhe ya Mak, hati ibu seluas samudra :D
BalasHapusMak Ririe: iya mak. serupa malaikat rahmat barangkali.
BalasHapusMak Rahmi: luaaaas....buanget mak. entah bisa kuarungi atau tidak.
ibu memang akan selalu menjadi teman setia anak2nya ya...
BalasHapusMak Santi: bener banget mak. walaupun ada masanya ingin jauh dr ibu, dulu...waktu umur belasan tahun.
BalasHapusAnak yang hebat pastilah di belakangnya ada ibu yang hebat. Keren Mba Ibunya, salam untuknya. Semoga Ibu-Ibu kita selalu berada dalam LindunganNya,dan semoga kita bisa membahagiakannya.
BalasHapushttp://nahlatulazhar-penuliscinta.blogspot.com/2014/11/mama-rahasia-di-bali-kediaman.html
Ibunya mbak diah itu...perhatian. Itu yang aku ingat..... Kucing2 nya dirumah masih
BalasHapusmbak?
Ibu memang akan selalu memahami apapun yg kita lakukan, padahal belum tentu kita mau memahami beliau. Makasih sharingnya ya mba.
BalasHapusNahlatulazhar: aamiin. semoga para bapak juga ya mbak.
BalasHapusBunda Raka-Alya: anaknya yg ga pengertian ya bun. hehe
mbak Uniek: bener mbak, karena kita pernah ada di dalam diri ibu ya.
BalasHapus