Anak pertama saya, Damar, laki-laki berusia lima tahun memandang bahwa yang disebut (anak) perempuan itu adalah: yang memakai rok, memakai kalung dan atau anting-anting serta yang suka menari. Untuk poin pertama dan kedua saya sepakat. Tapi poin ketiga membuat saya manggut-manggut setuju sekaligus puyeng.
Di pertengahan semester dua TKnya tahun ini, ada kegiatan drum band. Siswa TK kelas B pegang alat, yang kelas A diberi bagian menari-nari. Dengan pom-pom pula.
Nah, di sinilah masalahnya. Anak saya sama sekali tidak mau melakukannya. Setiap kali latihan dia cuma lari ke sana ke mari. Diminta berhenti tidak mau, diminta ikut menari tidak diindahkannya. Menari adalah untuk anak perempuan, begitu ia beralasan. Oh...ibunya puyeng jadinya.
Kemudian di akhir tahun pelajaran kali ini seluruh siswa TK akan tampil dalam acara perpisahan. Siswa kelas B menyanyi, siswa kelas A menari. Seperti yang sudah bisa ditebak, lagi-lagi Damar absen. Iming-iming ikut menari dengan pedang atau kuda lumping pun tak membuatnya tertarik. Image bahwa menari itu untuk anak perempuan sudah terpatri erat di benaknya rupanya. Baiklah. Kali ini emaknya sudah siap mental. Maaf, Bu Guru...anak saya jadi penonton saja.
Iya juga ya, mak. biasanya anak yang udah punya prinsip susah untuk diubah. Karena udah dari kecil dia tahunya.
BalasHapusiya mak. kl sudah bilang begitu sulit ngubahnya. paling susah kl hal yg keliru tp sudah diyakini.
BalasHapus