Kembali ke belasan tahun lalu. Sebuah konflik terjadi antara saya dan salah satu tetangga. Perkaranya adalah ban bocor. Ceritanya ban sepeda motor saya bocor lalu saya tambalkan di bengkel milik tetangga. Oleh tetangga saya dicek dan dia bilang ban dalamnya harus diganti karena sudah nggak layak lagi, nggak bisa ditambal. Ya sudahlah, saya ikut saja. Berhubung prosesnya lama, saya tinggal pulang dan nantinya sepeda motor saya diantar ke rumah.
Singkat cerita motor saya bisa dipakai lagi. Tapi tak lama setelah itu ban sepeda motor saya bocor lagi. Ya saya tambalkanlah itu ban. Setelah dicek oleh tukang tambal ban, pak tukangnya bilang kalau ban dalam saya tambalannya sudah banyak. Lho, ya kaget dong saya. Bukannya kemarin baru ganti?? Kok ini nggak kayak ban baru??
Saya merasa gimanaaa gitu sama tetangga saya. Masak iya nipu saya? Kesal dong, saya cerita ke orang tua. Tak lama setelah itu ibu saya konfirmasi ke tetangga saya itu dan malah berakhir rame. Buntutnya tetangga saya itu mendatangi saya ke rumah sambil bawa Pak RT. Waduh...
Bapak saya pun maju menyelesaikan masalah. Bapak saya memerankan diri sebagai pemadam kebakaran masalah saya dengan tetangga tadi. Padam nggak padam pokoknya harus dipadamkan. Tidak peduli hasilnya, peran itu adalah tanggung jawab Bapak sebagai orang tua.
Kasus Kedua terjadi di tempat kerja. Pak Bos kerap jadi pemadam kebakaran kalau ada miskomunikasi antara kami dengan pihak media. Misalnya ketika satu klien minta iklan muncul di tanggal tertentu berkaitan dengan acara HUT mereka. Tapi...ada keterlambatan masuknya materi iklan ke media sehingga esoknya iklan tidak tayang. Tentu saja klien marah-marah. Di sinilah Pak Bos terpaksa turun gunung memadamkan amarah sambil bawa solusi. Kalau ingat itu, wah, jadi malu sekaligus salut. Malu sama diri sendiri, salut dengan kebesaran hati Pak Bos.
Saat saya jadi orang tua, saya juga berperan sebagai pemadam kebakaran. Misalnya pas anak saya yang saat itu masih kelas 1 SD tanpa sengaja menyebabkan kucing tetangga mati, saya harus tampil memadamkan emosi pemiliknya.
Nah, ketika ada kasus nasional yang terjadi gara-gara salah ucap salah satu petinggi partai, maka tentu saja yang harus maju memadamkan amarah yang timbul adalah 'orang tua' di partai. Kalau ini lebih repot, karena skalanya nasional, pemadamannya juga harus berskala nasional. Hmmm... Atau kasus terkini, terbaliknya gambar bendera Indonesia di buklet SEA Games 2017. Duh, itu yang jadi pemadam kebakaran susah bener ya. Skalanya regional! Wahhh...
Sudah, itu aja cerita saya hari ini. Kesimpulannya apa? Jadi anak jangan suka berulah deh, kasihan orang tua. Sambil berdoa semoga saya dan suami saya tidak perlu menghadapi kasus 'kebakaran'. Juga bangsa ini. Gimana dengan teman-teman? Adakah kasus orang tua dan pemadam kebakaran yang pernah ditemui? Atau teman-teman juga jadi pemadam kebakaran? Boleh bagi ceritanya di sini. Yuk, yuk!
saya sering melihatnya mba..dan sepertinya malah saya juga sering jadi pemadam kebakarannya hehehe. Ada saja teman atau keluarga yang mempercayakan masalahnya ke kita ya mba, supaya ada solusi
BalasHapusSemoga anak-anakku gak "bikin api" ke anak lain :)
BalasHapusmemang kita harus selalu berhati-hati ya mbak, apalagi di jaman sosmed kayak gini...musti berpikir dua kali sebelum pencet tombol share
BalasHapusMba...aku kok mlh penasaran sama kasus ban. Trus pembuktian n endingnya gmn?
BalasHapusAndai bisa kembali ke masa kecil dan ababil, pasti saya akan ulangi hidup saya menjadi seorang anak yang gak berulah... Nice posting...
BalasHapus