KEB

KEB

BPN

BPN

About Me

About Me
Diah is here! Mom of three boys.

Mental Rendah Diri

Rendah diri adalah rendahnya rasa percaya diri. Ini adalah sebuah tanda bahaya. Apa jadinya jika mental inferior ini menjangkiti sebuah komunitas atau bahkan bangsa?

Malam ini saya baru saja menonton acara TV bertajuk VICE musim ke-3 episode 8 di saluran FoxCrime. Aslinya episode ini ditayangkan pada bulan Mei 2015 di Amerika Serikat. Dalam episode ini dipaparkan dua topik, namun yang menarik perhatian saya adalah topik kedua yakni jasa persewaan pria berkulit putih! Nah, lho!

Prostitusi? Bukan. Yang saya tonton malam ini adalah pria-pria berkulit putih yang bersandiwara sebagai ditektur atau dokter di China. Di sana, sebagian dari kelas menengah ke atasnya memandang pria berkulit putih itu sebagai sebuah prestise. Pria berkulit putih itu meyakinkan, terpelajar, pebisnis sukses dan label-label penuh gengsi lainnya.

Dikisahkan pada sebuah pameran di kota Yiwu, China, seorang pria berkulit putih disewa untuk memerankan seorang direktur sukses yang siap menjalin kerja sama dengan pelaku bisnis lainnya. Si 'direktur' ini dilatih secara kilat dalam perjalanan menuju pameran. Ia diberi identitas palsu dan kartu nama palsu. Ia juga kemudian berkeliling dari satu gerai ke gerai lain mengumbar pesonanya sebagai seorang pebisnis yang sukses. Aktingnya meyakinkan sekali! Bahkan sampai ada yang begitu antusias hendak bekerja sama dengannya. Si direktur palsu tadi dengan pede-nya memberikan kartu nama palsu dan (mungkin) nomor telepon palsu.

Untuk apa sih ada pemeran sandiwara semacam ini? Itu semua dilakukan demi memenuhi pesanan sebuah perusahaan yang sedang butuh naik citranya. Perusahaan yang mempekerjakan pria berkulit putih itu berarti perusahaan bonafid, begitu kira-kira yang terbayang dalam benak orang-orang itu. Duh, serem.

Yang membuat saya lebih bergidik adalah saat sandiwara kedua dimainkan. Seorang pria biasa berperan sebagai dokter. Hah? Dokter? Iya! Ia meresmikan sebuah rumah sakit, memberi kuliah pada acara pembukaan rumah sakit itu dan memberikan sumbangan. Kedatangannya disambut bagai raja, dijepret sana-sini, diberi aplaus saat naik mimbar memberikan kuliah yang bahannya ia dapat dari wikipedia dan mendapat perhatian penuh dari hadirin! Padahal biasanya jika yang berdiri di mimbar adalah dokter pribumi, yang hadir hanya setengahnya itupun banyak yang mengantuk. Dan si aktor ketika diwawancarai mengaku kalau yang ini bukan pertama kalinya ia bersandiwara sebagai dokter! *bergemuruh dada saya membayangkan itu*

Ini apa-apaan sih? Penipuan dilakukan secara sengaja demi mendongkrak prestise sebuah lembaga. Memalukan, kata saya. Apa tidak punya harga diri? Ya si penyewa maupun yang disewa. Apa tidak ada cara lain? Apa tidak takut dosa? Kenapa juga ada orang yang senantiasa silau dengan penampilan?

Tapiii ... saya juga mendadak sadar diri. Konon tak sedikit perusahaan di negeri kita yang pinjam nama tokoh besar sebagai komisaris atau direktur agar pamornya naik atau disegani. Mirip-mirip lah. Mental rendah diri juga.

Atau yang paling menonjol adalah kebiasaan penggunaan bahasa asing. Biar lebih keren. Masih ingat nggak, pemerintah pernah menetapkan penggantian nama-nama tempat usaha yang menggunakan bahasa asing ke bahasa Indonesia. Misalnya Sinar Photo Copy jadi Foto Kopi Sinar; Malioboro Mall jadi Mal Malioboro. Tapi tampaknya sekarang tidak lagi seperti itu. Banyak tempat usaha, perumahan, pusat perbelanjaan, bahkan nama proyek pemerintah yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia. Wah, kenapa, ya? Tidak pede?

Yang paling baru, mungkin pembaca masih ingat, adalah saat seorang bule salah menyangka Ridwan Kamil sebagai Presiden RI. Kita terkagum-kagum.
"Wah, kok bisa ya dikira presiden sama bule?"
Tapi coba bandingkan, kalau orang kita salah mengira seorang biasa sebagai Angela Merkel, misalnya, kita akan ngomong apa?
"Masak Angela Merkel aja nggak tahu? Malu-maluin!"

Haduh...ternyata mental rendah diri pun ada di diri kita. Percaya nggak, saya jadi curiga, jangan-jangan bisnis di sini juga begitu. Jangan-jangan seminar-seminar di sini dengan menghadirkan pakar bernama-nama asing juga hanyalah fatamorgana. *meringis prihatin* Malah saya juga curiga gadget kita ini buatan sendiri tapi diakukan dari negara maju. Hiya ... mulai berpikir yang tidak-tidak.

Lalu, lalu gimana dong menghadapi hal menakutkan seperti ini? Salah satunya dengan bersikap menerima kelebihan kita, percaya bahwa kita ini juga punya kemampuan, jangan mudah silau oleh atribut, senantiasa mencari informasi dari sumber terpercaya dan yang yang paling penting adalah bersedia belajar tidak rendah diri.

Gimana, sulit atau mudah? Yuk ah, jangan mau jadi bangsa bermental rendah diri!

Related Posts

16 komentar

  1. Semoga kita terhindar dari sifat rendah diri dan tak mudah silau dengan penampilan luar aja ya mbak. AMin....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaamiiin. Betul mbak, jangan sampai kita cepat silau.

      Hapus
  2. Saya nonton Castle. Kira-kira sama juga mbak. Pakai wajah pria ganteng. Buat investasi. Scam sih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Investasi bentuk baru ya mas :-D

      Itu Castle yang menginspirasi yang di Vice atau sebaliknya ya?

      Hapus
  3. di kampus juga gitu, mahasiswa internasional seolah lebih pintar dan dielu-elukan, padahal biasa aja, nggak semuanya keren. ya kalo tampang ya gitu, deh, padahal semua memiliki kelebihan masing-masing

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di dunia pendidikan pun terasa ya mas. Padahal dunia pendidikan itu relatif adil dalam menilai sesuatu.

      Hapus
  4. Klo labelnya teh panas masih 2000 mb... Tp klo dah ganti hot tea atau tambahi embel2 lemon tea....dah berlipat harganya mb...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebetulnya kalo memang bahannya beda lalu harganya beda gpp juga sih. Cuma jangan sampe terjadi teh kita jadi punya gengsi setelah diekspor dan dimasukkan lagi dengan nama asing. Kita ini minum tehnya atau gengsinya?

      Hapus
  5. Yup Mak. Kayak di sini. Meski Ponorogo kota kecil, ada kafe yg menunya pake bahasa Inggris. Biar lebih keren dan menjual kali ya. Tapi ya itu, harganyo jadi mahal :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo memang menunya beda bahan dan teknik memasaknya sih gpp mak pake bahasa asing. Yang repot itu kalo sama tapi dibuat seolah datang dari luar. Eh tapi ga ada pecel pincuk yg dijual pake bahasa asing kan? :-D

      Hapus
  6. Pemuda Indonesia juga banyak tapi masih ada juga yang menyewa pemuda asing menjadi pemain klub sepakbola kita.
    Salam hangat dari Jombang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu pakde. Padahal ada yg kemudian tidak dibayar gajinya sampai harus ngemis di jalanan ya.

      Hapus
  7. Menggelikan banget yg ttg ridwal kami & angela merkel itu. Tajem bgt pengamatannya mbak. Aku lihat episode itu, miris lihat si bule ngasih seminar dg bahan dr wikipedia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang ridwan kamil itu sebenarnya suara dari teman-teman di medsos mbak. Saya lihat kesamaan pola pikir dengan yang di Vice lalu saya pikir harus saya suarakan di sini juga.

      Hapus
  8. Ya begitulah mbak...
    Taulah, kapan ni bangsa bs lbh percaya dg kemampuan sendiri..ah mungkin langkah awal harus mmperkaya, menempa diri dg pengetahuan jg pengalaman, itu modal percaya diri..
    Tfs y mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harus ada campur tangan pemerintah sih mbak, tidak bisa berhenti di ranah wacana. Kita sebagai blogger punya tugas menjaga kesadaran ini terus-menerus.

      Hapus

Posting Komentar