KEB

KEB

BPN

BPN

About Me

About Me
Diah is here! Mom of three boys.

Lawan Bullying: Sama Dengan Kamu

Kasus kekerasan terhadap anak sebetulnya sudah terjadi sejak dulu, setidaknya sejak saya masih kecil. Dulu belum ada atau belum banyak perhatian yang tertuju pada masalah bullying. Kalau dalam bahasa anak-anak, bullying itu sederhananya adalah 'dinakalin'. Alasannya, ketika anak dibully, biasanya ia akan menganggap bahwa yang membully itu nakal.

Bullying pada tingkat umur yang lebih tinggi, pada pra remaja dan remaja biasanya diistilahkan 'dikerjain' atau kalau dalam ospek 'diplonco'. Bapak saya pun dulu juga sering menggunakan istilah diplonco untuk keadaan seseorang dibuat tak berdaya, disuruh melakukan ini dan itu yang tak disukainya dan atau yang tak sanggup dilakukannya disertai ancaman hukuman fisik dan atau verbal. Wah, panjang betul, ya.

Saya pun punya pengalaman dibully sewaktu duduk di SD. Pembullynya adalah teman sebangku sendiri yang suka mengancam agar saya meminjamkan barang-barang saya kepadanya, menemaninya ke mana-mana, membantunya mengerjain teman lain, mengikuti cara-caranya, sampai menukar hasil ulangan saya dengan miliknya. Kalau tidak mau saya dicubitnya diam-diam di kelas di bangku. Kukunya yang panjang dan tajam membuat sakit yang lumayan. Aksinya menukar hasil ulangan kami beberapa kali berakhir saat akhirnya ketahuan ibu saya. Penghapusan dan pengubahan nama pada hasil ulangan kami kurang bersih, sehingga mencurigakan. Lalu ibu menanyai saya dan saya pun mengaku. Ibu pun kemudian melaporkan kejadian ini kepada guru.

Si pembully ini kerap menukar hasil ulangan kami karena nilai saya selalu di atas nilainya dan terpaut cukup jauh. Masalahnya, ibu si pembully ini tak segan-segan memarahi dan menghukum secara fisik jika nilai teman saya itu tadi jelek. Waktu di SD dulu saya termasuk dua besar di kelas. Kalau tidak rangking satu ya rangking dua. Ya, zaman dulu masih pakai sistem rangking. Jadi, klop sudah. Saya dibully karena dia pun dibully sang ibu. Dan acara bully dibully ini berakhir ketika saya lulus SD. Alhamdulillaah. Bye-bye...

#

Kini saya sudah punya anak laki-laki yang mulai belajar di TK. Sebelum bersekolah, sungguh ia anak saya sepenuhnya. Saya sadar, nanti kalau sudah bersekolah, anak saya 'pasti' (yakin banget, ya) akan tertular virus nakal. Kalau bahasa saya 'kulakan nakal'. Ya bicara jelek, ya main fisik, ya kenal jajanan. Sadar sesadar-sadarnya menyebabkan saya harus membekali anak saya dengan ketrampilan 'bela harga diri'.

Untuk urusan bullying secara fisik seperti dipukul, ditendang, didorong dan sebagainya, saya ajarkan dua hal. Satu, balas dengan setimpal selagi memungkinkan. Memungkinkan ini berarti anak saya mampu secara mental untuk membalas alias berani untuk membalas. Kalau dipukul di punggung, balas pukul di punggung dengan kekuatan pukulan yang setara. Kecuali daerah kepala dan anak perempuan, tidak saya izinkan. Kedua, menghindar. Jika tak berani, maka hindari si pembuat onar. Itu lebih aman.

Untuk urusan bully secara verbal seperti diejek atau diumpat, saya ajarkan anak saya untuk membalas dengan kalimat "sama dengan kamu". Misalnya anak saya dikatain "Jelek!" maka ia akan membalas "Sama dengan kamu". Apapun yang diumpatkan si pembully, cukup balas dengan itu. Tentunya disesuaikan dengan bahasa yang dipakai si pembully, apakah Bahasa Indonesia atau bahasa daerah, bahasa Jawa dalam hal ini.

Tak lupa saya berpesan kepada anak saya untuk melapor kepada guru, saya dan orang tua si pembully, kalau ada. Setidaknya melapor kepada guru dan saya dengan format seperti ini "Si Anu tadi mukul aku di kepalaku".

Saya juga berpesan kepada anak saya untuk tidak memulai duluan. Kalau dinakalin boleh membalas, tapi tidak boleh memukul duluan. Sebagai langkah antisipatif, saya pun berusaha mendekati si pembully dan orang tua si pembully. Kepada si pembully saya ajak ngobrol. Saya bertanya tentang adiknya, kakaknya atau saudaranya. Bisa juga tentang tempat tinggalnya. Pokoknya apa pun yang berkaitan dengan hal pribadinya yang disukainya. Dengan begitu si pembully merasa saya ada perhatian kepadanya dan menjadi segan untuk menakali anak saya. Dan ini sudah terbukti manjur, setidaknya pada dua anak.
Ya, namanya juga orang tua, saya tak ingin anak saya mengalami pembullyan berkelanjutan seperti saya dulu. Saya pribadi, sih, tidak trauma dengan masa lalu saya, namun saya tak tahu apakah anak saya begitu atau tidak. Daripada ini dan itu lebih baik anak saya siap lebih dulu. Meski mungkin kesiapannya pun berproses namun tak menjadi masalah, asalkan dia semakin matang dari hari ke hari.

Harapan dan doa agar kasus bullying lenyap dari muka Bumi ada, tetapi tak ada salahnya mempersiapkan diri. Semoga anak-anak saya dan anak-anak kita terhindar dari bullying, baik sebagai yang dibully ataupun sebagai pembully. Aaaaamiiiiin.

Sumber gambar: Wildeagency

Related Posts

Posting Komentar