KEB

KEB

BPN

BPN

About Me

About Me
Diah is here! Mom of three boys.

Mohon Izin, Buka Puasa Sebelum Waktunya!

2 komentar

Sebenarnya kebiasaan saya menonton tv nasional nyaris hilang, hanya saja dalam beberapa kesempatan saya masih 'bertemu' dengan beberapa saluran berita saat mencari-cari acara yang bagus. Topik terakhir yang sempat mampir di indera saya adalah kasus video porno yang pelaku dan perekamnya adalah anak SMP. Berita ini pun akhirnya yang saya simak juga di beberapa surat kabar online.

Yang terbetik pertama kali dalam pikiran saya adalah rasa syukur. Rasa syukur karena pada saat saya menjadi murid SMP sekitar dua puluh tahun yang lalu tak ada kejadian seperti ini. Tentu saja tidak ada, sebab tak ada fasilitas yang mendukung untuk acara rekam-merekam itu tadi, baik handphone apalagi yang smart, tablet maupun internet. Lantas, burukkah fasilitas itu?

Sebagian orang berpendapat begitu. Termasuk saya. Namun ada hal lain yang lebih berbahaya daripada gadget-gadget tadi, yaitu restu alias izin dari orang tua. Orang tua, wali dan guru. Kok bisa?

Mari kita 'baca' pelajaran dari ibadah puasa. Berpuasa secara umum berarti tidak makan dan tidak minum. Hampir semua orang tahu itu. Pada dasarnya makan dan minum adalah perbuatan yang halal. Tidak dilarang. Namun selama berpuasa, sejak subuh hingga maghrib, makan dan minum menjadi terlarang. Ketika telah tiba waktunya, makan dan minum kembali diperbolehkan. Pelajaran inilah yang juga penting, bahwa sesungguhnya untuk hal halal pun, hal yang legal pun, ada saatnya kita harus bersabar. Menanti hingga waktunya tiba.

Berkebalikan dengan pelajaran berpuasa tadi, yang sering saya temui dalam kehidupan sehari-hari adalah, tak sedikit orang tua atau wali atau guru yang memberi izin anak mereka untuk 'makan dan minum' sebelum saatnya. Contohnya memberi izin anak mereka untuk mengendarai sepeda motor padahal si anak kurang umurnya. Alasan anak sudah cukup bongsor dan ikut-ikutan adalah yang paling umum saya temui. Bahkan ada yang mengizinkan anak menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi ke sekolah. Sadarkah mereka bahwa tindakan ini memberi gambaran kepada anak bahwa it's ok untuk melakukan hal yang seharusnya belum boleh dilakukan?

Atas dasar apa pun, penting untuk dipertimbangkan ulang memberikan barang seperti handphone sebagai milik pribadi anak, memfasilitasi televisi dan internet di ruang pribadi anak dan entah teknologi canggih apa lagi nanti yang akan hadir.

Mungkin akan muncul pertanyaan seperti ini: bagaimana mungkin menghalangi anak dari piranti-piranti seperti itu? Bukankah tindakan itu sama dengan mengungkung anak? Bagaimana jika mereka menjadi ketinggalan zaman? Bisa-bisa mereka menjadi anak yang minder dan gaptek!

Untuk menjawab keresahan seperti ini, jalan keluarnya, berikan gadget seperlunya dengan aturan main yang jelas. Ayah Edy, seorang pakar parenting menjelaskan, gadget bisa kita berikan kepada anak dengan catatan bahwa gadget itu milik ayah atau ibu. Anak hanya dipinjami. Syarat meminjam harus jelas. Jam sekian hingga sekian, aktivitas yang diperbolehkan adalah ini dan itu. Menurut saya, ini menarik. Anak akan tahu bahwa barang tersebut milik orang tuanya dan ia tak punya kuasa penuh atas si gadget. Bukan hanya gadget, hal lain pun demikian.

Beri batasan anak dalam berteman, pertegas hukum haramnya pacaran, bonceng-boncengan, hingga tegaskan batasan SMS atau chat. Jangan pernah biarkan anak menangkap sinyal bolehnya 'berbuka puasa sebelum waktunya'.

Akhirnya, marilah kita bayangkan, andai semua orang tua, wali dan guru menerapkan filosofi berpuasa tadi, anak-anak akan memiliki kesadaran untuk taat, bersedia bersabar hingga waktunya tiba dan meraih akhir yang bahagia sebagaimana bahagianya orang berbuka puasa. Alangkah indah, nyaman dan amannya dunia ini.

Related Posts

2 komentar

  1. keren mbak analoginya ^^

    ikutan #MenulisMuharram yuk mbak ;)
    bisa pilih topik disini: http://bit.ly/HlVEya

    BalasHapus
  2. makasih mbak...segera meluncur ke sana.

    BalasHapus

Posting Komentar